#Prolog
Semua
orang pasti tahu yang namanya legenda tua tersebut, tak bisa dipungkiri lagi.
Secara fakta jelas, legenda tua tersebut lebih banyak dibincangkan oleh
kebanyakan orang daripada aksi para petarung di arena pertarungan, bahkan tak
kalah hebohnya dengan berita lengsernya suatu pemimpin Negara akibat skandal
apa pun itu macamnya. Banyak orang tak habis pikir, kenapa legenda tua tersebut
dapat terjadi, apakah itu hanyalah takdir yang sudah digariskan, atau bahkan
telah di rencanakan sebelumnya. Tak banyak orang yang tahu tentang kebenarannya
tersebut, tapi yang jelas, itu semua membuat kami tidak bisa hidup seperti
kebanyakan orang.
Ayah
kami hampir tak pernah menemui kami atau lebih tepatnya lagi kami tak akan
pernah bertemu dengan ayah kami. Sementara ibu kami, jangan harap dia bisa
bersama dengan kami, bertemu saja tidak pernah. Kami adalah 3 bersaudara. Aku
adalah anak kedua, Korce, banyak orang yang menyebutnya seperti itu. Bahkan aku
sendiri tak tahu namaku yang sebenarnya. Luvius, penganyom kami berdua. Dengan
tubuhnya yang cukup berisi, tampaknya pantas menjadikan dia sebagai “pelindung”
aku dan adikku. Sementara yang selalu membuat
aku dan kakakku selalu tersenyum
adalah HJK, namanya yang kami berikan karena banyaknya yang memanggil dia
dengan nama yang lain dan panjang.
“Luvius,
lebih baik kita beristirahat saja terlebih dahulu, lihatlah HJK!” tanganku
mencoba untuk memperlambat langkah Luvius agar dia mendengarkan kata-kataku.
Sekilas dia melihat HJK yang begitu tertatih berjalan sambil membawa tasnya
yang berisi 2 stel baju yang seminggu sekali baru ia cuci. Dengan badannya yang
lebih beberapa centi dari diriku, ia menatapku dengan tajam sambil melepaskan
pegangan tanganku. “apa kau tak ingat apa tujuan kita, hah?”. “lalu apakah kau
juga tak punya hati dengan HJK?”, balasku tak kalah tajam. HJK tepat berada
diantara kami berdua, Luvius lantas membuang pandangannya dengan raut muka yang
menyimpan kemisteriusan.
Awan
nampak sedang bersenang-senang dengan tiupan angin. Silih berganti
bentuk-bentuk awan tersebut. Korce tak habis pikir, apa yang sedang dipikirkan
oleh Luvius. HJK hanya melihat sekelilingnya dengan tangannya terus menutupi
dadanya sambil sesekali kedua tangannya tersebut mengusap wajahnya. Luvius
merasakan udara membawa kabar dari tempat yang nan jauh disana.
“Korce,
lebih baik kita bergerak sekarang!” kedua mata Luvius nampak berapi-api.
Ucapannya tersebut mampu membuat Korce dan HJK terbangun dari lamunannya.
“Korce, kamu dengarkan, kita lebih baik bergerak sekarang!” nada itu membuat
Korce menoleh kearah Luvius dengan raut muka yang berlipat karena jengkel.
Belum
sempat menjawab, Luvius sudah melanjutkan pembicaraannnya, “HJK, kau sudah
siapkan? Aku harap kamu dalam keadaan yang selalu siap?”. Luvius lantas jalan
tanpa memedulikan kedua saudaranya. HJK lah yang pertama kali menyusul Luvius,
mukanya yang nampak tegar dengan apapun yang terjadi, padahal usianya masih
dibawah 10 tahun, membuat Luvius bisa sedikit tersenyum melihat perjuangan
saudara terkecilnya tersebut.
Marah,
jengkel, dan tak mengerti apa yang akan dilakukan, ya, itu yang sedang
dirasakan oleh Korce. Dengan langkah yang dipaksakan ia mencoba menyusul kedua
saudaranya. Berbeda dengan Luvius yang bisa tersenyum melihat HJK, Korce,
jangankan tersenyum, gembira saja dia tidak. Korce sudah kehabisan akal
memikirkan apa yang sedang direncanakan oleh Luvius, ketua perjalanan sekaligus
pelindung dan juga kakak tertua.
No comments:
Post a Comment